Ngaji Hikam Bab Zuhud (1)

Tahapan bagi orang Salikin yaitu orang yang sedang berjalan menuju Allah yang ketujuh adalah zuhud. Al-Zuhdu atau Zuhud menurut Sayid Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad Dimyati dalam Kifayatul Athqiya' adalah hati yang tidak terpengaruh dengan harta, bukannya tidak punya harta. Orang Zuhud bukan tidak punya harta. Bahkan banyak yang kaya harta. Zuhud bukan berarti tidak bekerja.

Para wali Allah banyak yang maqam-nya berada pada maqam al-Kasab atau maqam usaha. Seperti Hatim al-Ashom (W.257 H) yang masih berjualan, Syekh Junaid al-Bagdadi (W.297 H) yang berdagang, Muhammad Ibnu Mungkadir (W.130) yang menjual kain, dan Syekh Hasan al-Basri (W. 110 H) yang menjual hewan. Bahkan sahabat nabi yang bernama Andurahman bin Auf, seorang yang disebut ahli surga ketika masih hidup juga tetap bekerja.

Orang Zuhud bukanlah orang yang hanya diam dan tidak bekerja. Gurunya Syekh Junaid bernama Syekh Abu Jakfar Al Bagdadi, setiap hari masih bekerja. Hasil dari kerjanya perhari 1 Dinar atau 2 Juta. Untuk apa uang hasil kerjanya?. Untuk sedekah. Uang 1 Dinar dipecah jadi 10 Dirham. Kemudian 1 Dirham dijadikan 4 Daniq. 1 Daniq setara dengan uang sekarang Rp. 50.000. Uang-uang Itu dibagi-bagikan Fuqara dan Masakin sampai Magrib sudah habis. Itulah contoh orang zuhud. Tandanya dermawan dan Iitsar atau mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri.

Ada orang yang salah mengartikan Zuhud dengan tidak bekerja. Tapi nafsunya ingin merokok yang enak-enak. Ada cerita anak santri yang pegangan kitabnya adalah al-Ikhyak Ulum al-Din. Diajak oleh ayahnya bekerja tidak mau. Diajak ibunya bekerja tidak mau. Tapi Rokoknya minta rokok Dji Sam Soe teris dan selalu ingin makan enak. Contoh tersebut bukan contoh Zuhud.
Muhammad Ibnu Mungkadir (W. 130 H) seorang yang zuhud tapi masih bekerja berjualan kain. Beliau memiliki toko yang dipisah jadi dua. Satu toko menjual kain yang harganya per potong 5 dirham atau 1 juta. Toko sebelahnya menjual kain per potong dengan harga 10 Dirham atau dua juta. Walaupun punya toko dan tokonya laris, beliau tidak pernah meninggalkan jamaah. Tokonya ditunggu Ghulam atau budak yang menjadi karyawannya.
Ketika Muhammad Ibnu Mungkadir shalat, ada orang Arobby yang mau membeli kain di tokonya. Orang Aroby itu tidak tau harganya. Dia mau membeli kain yang bagus. Oleh Ghulamnya Ibnu Mungkadir, orang Arobby tersebut diberi sepotong kain yang harganya 5 dirham. Akan tetapi oleh Ghulamnya disuruh membayar dengan harga 10 dirham. Orang arobby itu walaupun membayar dengan harga yang lebih mahal tetapi dia suka.
Setelah Muhammad Ibn Mungkadir selesai shalat jamaah, dia bertanya kepada ghulamnya. Apakah ada kain yang terjual?. Ghulamnya menjawab, "Ada Syekh, yang terjual adalah kain yang harganya 5 dirham tapi saya jual dengan harga 10 dirham". Kemudian Ibnu al-Muhkadir berkata, "Ya Allah, aku tidak suka yang demikian itu, kalau harganya 5 dirham ya harus dijual 5 dirham".
Subhanallah, akhirnya Ibnu Mungkadir mencari sendiri Aroby tersebut. Dia tidak menyuruh ghulamnya. Sampai sehari mencari orang Aroby tadi, akhirnya bertemu di pasar. Ibnu Mungkasir bertanya, "Wahai orang Aroby, apakah kamu tadi beli kain seharga 10 dirham?". Orang Aroby menjawab, "Iya Syekh". Lalu Ibnu Mungkadir berkata, "Penjaga tokoku tadi kliru, kainmu itu harganya hanya 5 dirham, tidak 10 dirham". Orang Aroby pun menjawab, "Tidak apa-apa Syekh, karena aku suka". Lalu Ibnu Mungkadir dawuh, "Iya Kamu suka, tapi aku tidak suka, jika kain harga 5 dirham kamu beli dengan harga 10 dirham, aku gak ridla". Kemudian Ibnu Mungkadir dawuh lagi, "Begini, sekarang pilihlah, pertama, kain ini kamu bawa, tapi kamu ku beri kembalian atas uangmu. Atau ke dua, uangmu saya kembalikan, dan kainya kembalikanlah kepada saya. Atau nomor tiga, kainnya saya tambah satu potong lagi, karena uangmu 10 dirham". Akhirnya orang Aroby memilih untuk diberi kembalian atas uangnya.
Setelah Syekh Muhammad Ibnu Mungkadir pergi. Orang Aroby bertanya kepada sesorang, "Syekh tadi itu siapa?". Dijawab oleh yang ditanya, "Itulah Syekh Muhammad Ibnu Mungkadir". Lalu orang Aroby berkata "Di masyaraktku, kalau tidak turun hujan, semua cukup bertawasul kepada Muhammad Ibnu Mungkadir, maka turunlah hujan".
Abdurahman bin Auf adalah sahabat nabi yang zuhud dan dermawan. Ketika nabi mencari dana untuk perang Abdrahman bin Auf, menyumbang sepertiga hartanya. Umar bin Khatab menyumbang setengah dari hartanya. Dan Abu Bakar menyumbangkan seluruh hartanya. Begitulah saking zuhudnya para sahabat.
Abdurahman bin Auf sangat kaya. Ketika masih hidup, dia sudah diberi kabar gembira oleh nabi kalau kelak akan masuk surga. Pekerjaannya adalah berjualan hewan. Ketika ditanya oleh sahabatnya, "Ya Abdurahman, kamu bisa jadi kaya caranya bagaimana?". Abdurahman bin Auf menjawab, "Sebabnya ada tiga, Pertana; aku tidak menolak laba sama sekali, jadi kalau aku jualan, walaupun harganya (seumpama) 1 juta, kok hanya dapat laba seribu tidak akan aku tolak. Pokoknya kalau sudah dapat laba akan aku jual karena murah, sehingga langgananku banyak, Kedua; aku kalau punya hewan, unta atau keledai, kok ada orang yang kepingin memiliki, langsung saya berikan. Walaupun aku hanya mendapat laba dadung (tali) saja. Ketiga; aku tidak pernah menjual dengan cara memberi hutangan, harus kontan. Aku tidak mau kalau dihutang".
Pernah satu ketika Abdurahman bin Auf menjual 1000 unta. Tidak mendapat laba sama sekali. Seumpama "kulakaan"-nya 50 juta dan dijual 50 juta. Dia hanya mendapat laba dari dadungnya. Kemudian dadungnya dijual. Satu dadung seharga 1 dirham. Maka berarti unta seribu, hanya mendapat laba 1000 dirham. Ternyata yang membeli 1000 unta tersebut tidak punya kandang, sehingga menggunakan kandang nya Abdurhman bin Auf. Kemudain Abdurhman lah yang mencarikan makan dengan laba 1 dirham. Begitulah orang Zuhud, kaya tapi tidak pelit.
Imam Ghozali pernah mengatakan, "Zuhud di dunia adalah kedudukan yang tinggi dari kedudukan-kedudukan seorang yang menuju Allah. Keduddukan tersebut urutannya adalah, (1) Taubat, (2) Takwa, (3) Qanaah, (4) Wiraki, (5) Tawakal, (6) As Sobru, dan (7) Zuhud, setelah itu sudah masuk pintu gerbang Hadrotillah".
Kalau diibaratkan perjalanan ke Surabaya dari Jombang. Jombang adalah taubat dan Surabaya adalah Hadratillah. Maqam Zuhud itu ibarat sudah sampai Wonokromo. Jadi satu tahap lagi sampailah ke Surabaya. Kawasan Illahi tinggal satu tahap lagi, yaitu Mahabbah. Makanya Imam Ghazali dawuh, "Zuhud adalah makam yang tinggi bagi Salikin".
Tandanya orang itu Zuhud adalah ; (1) Dermawan, (2) Suka mengalah (Iitsar). Orang yang suka mengalah itu tidak mesti orang kaya. Orang melarat kalau zuhud kesukaannya "seneng ngalah". Abdullah bin al Thayar, atau Abdullah al-Shodiq, seorang yang memiliki kemampuan bisa terbang adalah adik dari Sayidina Ali. Abu Thalib paman nabi itu anaknya banyak tapi melarat. Oleh karena itu, Nabi dan Abbas (Abbas adalah kakak dari Abu Thalib) bermusyawarah untuk mengurangi beban Abu Thalib. Karena anaknya banyak, dua dari putra Abu Thalib diminta. Satu diminta nabi, dan satu diminta Abbas. Oleh Abu thalib diperbolehkan asalkan bukan Aqil (salah satu putra Abu Thalib). Yang diberikan nabi adlaah Ali bin Abi Talib dan yang diberikan Abbas adalah Abdullah.
Jakfar besanan dengan Sayidina Ali. Putrinya Ali bernama Umi Kusum, dijodohkan dengan Abdullah bin Jakfar. Abdullah bin Jakfar itu punya tetangga yang kaya yang memliki kebun kurma dan ditunggu oleh budaknya. Budak tetangga Abdullah bin Jakfar ini punya kelebihan hati yang bersih atau "Arbabil Qulub". Akhirnya Abdullah bin Jakfar ingin membuktikan. Dia masuk ke kebun milik tetangganya. Ketika masuk kebun dia melihat tanggan dari budak tetangganya memegang 3 roti untuk jatah sehari. Satu roti untuk pagi, 1 roti untuk siang, dan 1 roti untuk sore hari.
Ketika Abdullah bin Jakfar masuk kebun, ada anjing yang juga masuk ke kebun tetangganya. Oleh budak penjaga kebun, roti jatah makannya untuk sehari diberikan kepada anjing, ketika di lempar potongan roti yang pertama dan dimakan oleh anjing sampai habis. Kemudian dilemparkan lagi roti ke dua, kemudian dimakan sampai habis. Kemudian dilemparkan lagi roti yang ketiga, yang kemudain habis dimakan anjing.
Lalu Abdullah bin Jakfar mendekat, dan bertanya, bukankah 3 potong roti itu jatahmu?. Dijawab oleh Budak, "Iya Pak, roti-roti itu adalah jatah makanku untuk satu hari". Kemudian Abdullah bin Jakfar bertanya lagi, "Lho kenapa kamu berikan kepada Anjing?". Dijawab oleh Sang Budak, "Pak, di daerah sini itu tidak ada yang memelihara anjing, jika ada anjing itu berarti anjing yang berasal dari daerah lain. Kalau dari daerah lain pastilah dia lapar". Kemudian Abdullah bertanya lagi, "Lha terus kamu makan apa?". Budak pun menjawab "Ya, puasa". Ini namanya Iitssar. Kita butuh tapi ngalah.
Syekh Juanaid al-Bagdadi (W 207 H) dawuh, "Zuhud adalah tangannya kosong harta dan hatinya juga tidak terpengaruh terhadap harta". Seperti contoh kisah budak tetsebut, diberi makan 3 potong roti tapi diberikan kepada anjing yang lapar.
Akhirnya Abdullah bin Jakfar mengaku kalah dengan anak muda yang menjadi budak itu. Nak, sekarang antarkan aku ke majikanmu. Setelah bertemu Abdullah bin Jakfar bertanya, "Pak apa kamu majikannya?". Dijawab, "IIya, kamu siapa?". Abdullah menjawab, "Saya adalah Abdullah bin jakfar mau bertanya Budak Sampean itu harganya berapa?". Dijawab oleh majikannya "Sakmenten" kemudian di beli 10 kali lipatnya.
Melakukan yang demikian harus dimulai dari hal kecil-kecil. Semisal naik becak harga Rp. 25.000, bayarlah Rp.50.000. Cobalah yang seperti itu maka akan barokah karena barokah itu tidak tampak. Orang tinggi derajatnya karena mendapat rahmad Allah. Malaikat Jibril dawuh, "Segala sesuatu itu karena Rahmat Allah". Lalu Rahmad Allah diberikan kepada siapa?. Diberikan kepada orang yang dikehendaki. Allah menyerahkan rahmadnya kepada orang yang dikehendaki. Bila tidak dikehendki Ya tidak!. Lalu yang dikehendaki Allah itu siapa?. Sesungguhnya rahmad Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuar baik (Muhsin).
Mukhsin, atau Ikhsan atau berbuat baik, ada yang "fi ubudiyah". Ada Muuhksin atau Ikhsan yang Fi Muamalah (transaksi, jual beli, dan sewa menyewa). Ada juga Muhsin atau Ikhsan fi Munakahah yaitu antara suami dan istri. Orang yang muhsinin adalah orang yang didoakan Nabi. Yaitu orang yang mudah menjual (sahala bai'i), mudah dalam membeli (sahla sira'i), dan mudah dalam membayar hutang (sahalal Qadlai).
Saya membuat pondok itu mudah, sudah berapa pondok saya?. Itu kalau mandek pembangunannya, saya ditelfon oleh China, Toko Bangunan mulur itu telfon berkali-kali. "Kiai Djamal, sudah tidak bangun?". "Ojok kuatir tak dihutangi". Kenapa bisa seperti itu?. Karena kalau saya hutang dalam tempo 15 hari saya bayar. Rohimma itu artinya melasi (welas) yaitu kalau jualan mudah, kalau beli mudah, ya kalau hutang, bayarnya juga mudah.
Orang itu kalau menghutangi orang mudah. Seumpama 5 juta, dan sampai jatuh tempo belum bisa membayar. Selama itu, setiap hari orang yang menghutangi dapat pahala shadaqah. Orang shadaqah dan orang menghutangi itu pahalanya lebih banyak orang yang mau menghutangi. Nabi ketika di surga pernah menemukan tulisan, "Barang siapa shadaqah, pahalanya 10 kali lipat. Barangsiapa Menghutangi pahalanya 18 kali". Kenapa?. Karena kalau memberi shadaqah, terkadang orang yang diberi butuh dan terkadang tidak butuh. Tapi kalau orang hutang itu pasti butuh. Terkadang sampai orang itu menghinakan diri karena butuh untuk dihutangi.
Memberi tempo kepada orang yang menghutangi itu setiap harinya diganjar pahala senilai dengan shadaqah sebesar berapa yang dihutangkan. (Ikhyak ulumdiin). Jadi yang menjadikan sulit rezeki itu adalah kalau membeli susah. kalau berjualan susah dan kalau dihutangi susah.
Hasan al Basri (W. 110 H) adalah orang yang zuhud dalam bermuamalah. Beliau masih tetap "kasab" (usaha) dengan julan bighol (keledai) atau hewan yang ukurannya di bawah kuda tetapi di atas khimar serta memilki telinga yang lebar.

Suatu ketika ada seorang pembeli yang bertanya, "Harga (bighol) nya berapa Pak?". Hasan al-Basri menjawab, "Harganya 400 dirham". Setelah pembeli itu setuju dan akan membeli dengan harga 400 dirham. Kemudian Hasan al-Basri bertanya, "Kapan ini akan dibeli?". Lalu pembelinya menjawab, "Nanti, saya mau mengambil uang dulu".
Kemudian Pembeli datang lagi dan berkata, "Ya Aba Said cobalah lebih murah lagi dalam menjual". Padahal sebelumnya sudah sepakat dengan harga 400 dirham. Kemudian Hasan al-Basri berkata "Ya sudah, sekarang saya kurangi 100 dirham dan jadi 300 dirham". Lalu pembeli menawar lagi "Ya Aba Said, akhsin (bermurah hatilah)". Kemudian Hasan al-Basri berkata, "Ya sudah dari 300 itu, yang 100 kuberikan kepadamu". Maka jadilah harga bighol yang 400 dirham menjadi 200 dirham karena kedermawanan Hasan al-Basri.
Kemudian ada orang bilang kepada Hasan al-Basri, "Ya Abba Said itu kan hanya separo harga". Hasan al-Basri menjawab, "Iya itu memang separo harga, tapi ini namanya mukhsin, walaupun hanya dapat sedikit tapi barakah, karena, "Innallaha qaribun mukhsinin". Yaitu sesungguhnya Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.
Nabi dawuh, "Barangsiapa berhutang, dan punya niatan untuk membayar, maka malaikat mendoakan dan akan dipermudah untuk membayar. Tapi barangsiapa dari awal sudah berniat tidak membayar, maka akan disulitkan". Orang hutang dengan niat tidak membayar itu haram. Ibarat suami yang punya niat tidak membayar mahar, maka nikahnya seperti zina.
Akhirnya oleh Abdullah bin Jakfar budak tetangganya beserta kebun kurmanya di beli dengan harga dua kali lipat. Budaknya dibebaskan, dan kebunnya diberikan kepada si budak yang sudah berstatus merdeka. Ini namanya orang zuhud yang tidak terpengaruh dengan dunia. (*)

- Disarikan dari Pengajian Al-Hikam Setiap Malam Selasa oleh KH. Mochammad Djamaluddin Ahmad 12 Februari 2018

4 komentar untuk "Ngaji Hikam Bab Zuhud (1)"