Ngaji Hikam Bab Hawa Nafsu

Syekh Ibnu Athaillah al-Syakandari di dalam kitab Al-Hikam-nya menjelaskan satu hikmah tentang hawa nafsu bahwa :

لا يخاف عَلَيْكَ أنْ تَلْتَبِسَ الطُّرُقُ عَلَيْكَ؛ وَإنَّمَا يُخَافُ عَلَيْكَ مِن غَلَبَةِ الهَوَى عَلَيْكَ

Artinya ; “Bukan kebingungan jalan yang dikhawatirkan dari dirimu, akan tetapi yang dikhawatirkan adalah menangnya hawa nafsu atas dirimu.” 

Di dalam syarah kitab Al-Hikam dijelaskan bahwa hal yang dikhawatirkan dari kita bukanlah kebingungan mencari jalan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sebab jalan menghamba kita kepada Allah sudah jelas dan telah ada ilmu syari’at yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Akan tetapi sesungguhnya yang dikhawatirkan adalah menangnya hawa nafsu atas diri kita dengan cara mengajak kita pada ‘ujub ketika beramal atau riya’, lebih mengutamakan berbuat maksiat dan tidak mensyukuri nikmat, serta merasa bersedih saat dilanda cobaan.

Perjalanan kita menuju Allah seperti kita sedang mengendarai mobil. Kita menjadi lambat sampai pada tujuan karena banyak memperhatikan hal-hal yang di kanan dan kiri saat berjalan. Begitu juga perjalanan menuju Allah tidak bisa sampai dengan cepat karena hawa nafsu menguasai kita. Sebulan penuh kita didik Allah di Madrasah Ramadan dengan kurikulum yang luar biasa sempurna. Sehingga kita keluar dari Ramadan menjadi hamba yang mampu mengalahkan hawa nafsunya. Sekarang ketika syawal hawa nafsu itu mulai menganggu kita lagi. Oleh karena itu kita harus waspada dengan nafsu kita masing-masing. 

Keadaan murid atau salik thariqat tidak bisa dihindarkan dari 4 hal yaitu ; (1) Al-Thaat, (2) Al-Maksiat, (3) Al-Nikmat, (4) Al-Baliyat. Semua manusia pasti mengalami 4 keadaan tersebut. Terkadang kita taat, terkadang juga maksiat, terkadang mendapat nikmat, dan juga kadang diberikan baliyat atau ujian. Sehingga menurut Syekh Ibnu Athaillah, beliau tidak khawatir jika Murid akan tersesat karena mengalami 4 hal tersebut, sebab ilmunya sudah jelas. 

Orang yang melihat Alquran, Hadist dan petunjuk-petunjuk Mursyid maka akan menemukan bagaimana kita saat mengalami 4 hal tersebut. 

Pertama saat kita berada dalam keadaan taat. Maka  yang harus dilakukan adalah meyakini bahwa taat yang kita lakukan bukanlah usaha dan upaya kita, akan tetapi merupakan "mihnah" atau anugerah Allah Swt. Sehingga dengan ketaatan tersebut kita bisa sampai kepada tujuan kita yaitu ridla Allah Swt. Hal itu sebab kita tidak mengklaim diri sendiri tapi dikembalikan kepada Allah Swt. 

Sikap kedua jika melakukan ketaatan adalah kita harus mengikhlaskan amal tersebut. Hal ini sesuai dengan Alquran : 

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ 

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Selain mengembalikan kepada Allah dan ikhlas, tatakerama kita saat taat adalah : 

ما اصابك من حسنة فمن الله

Apapun yang menimpa kita yang baik-baik adalah dari Allah Swt. 

Aturan dan petunjuk-petunjuk yang demikian ini sudah jelas dalam Alquran dan hadist. Oleh karena itu yang dikhawatirkan dari ketaatan-ketataan tersebut adalah adanya hawa nafsu yang masuk ke dalam ketatan tersebut. Bagaimana cara hawa nafsu masuk?. Yaitu kadang-kadang muncul sifat ujub, riya', sum'ah saat melakukan taat. 

Terkadang pertama yang muncul dalam ketaatan adalah ujub, serta memamerkan ketaatan tersebut. Mbah Yai Djamal sering mewanti-wanti ketika jamaah Al-Hikam berada di Makah semisal mendapat nikmat bisa mencium Hajar Aswad. Abah dawuh, "Tidak usah dicerita-ceritakan". 

Hal ini dilatatbelalamgi oleh satu cerita ketika saya dan isteri mendampingi beliau. Lalu datang satu jamaah. Dia datang langsung mencium tangan saya dan Mbah Yai Djamal  kemudian cerita bisa mencium Hajar Aswad secara bolak-balik. Disekeliling orang tadi banyak jamaah yang sepuh yang sebenarnya juga ingin. Orang tersebut bisa mencium hajar aswad karena desak-desakan. Hal yang demikian dapat mengurangi kemabruran haji, karena membuat yang lain merasa iri ingin mencium hajar aswad tapi terbatas oleh fisik. Sampai Mbah Yai dawuh yang demikian tidak usah dicerita-ceritakan. 

Hal ini sama seperti yang dijelaskan dalam kitab Taklim bahwa seorang santri seharusnya tidak makan di warung. Kenapa?. Karena yang lewat depan warung ada orang fakir dan miskin yang memiliki selera sama ingin ke warung tersebut tapi tidak bisa karena tidak punya uang. 

Satu ketika akan haji Abah sowan ke Kiai Djalil. Pada saat itu Kiai Djalil dawuh, "Kiai Djamal saat musim haji wali-walinya Allah itu kumpul". Itulah diantara perkara yang menjadikan ibadah haji menjadi ibadah yang istimewa. Sehingga ketika bertemu dengan orang yang tampak luarnya biasa-biasa janganlah terlalu. 

Saya ingin membuktikan dawuh Kiai Djalil tersebut dengan berdoa semoga ditemukan dengan walinya Allah. Saat thowaf saya ketemu orang besar, hitam, dan buta. Karena buta saat thowaf dia seperti nabrak-nabrak jamaah lain tapi sama sekali tidak menabrak. 

Setiap ditabrak orang yang keluar dari lisannya dalah "Ya Lathif". Saya yang disebelahnya mencium bau yang sangat harum.  Walaupun saya tidak tahu dia wali atau bukan, tapi saya meyakini saja bahwa doa saya diijabah dengan bertemu orang tersebut. Akhirnya saya minta doa. Dan beliau berdoa serta tersenyum. 

Satu ketika saya thowaf ingat Abah. Lalu ingin bertemu wali. Saya tidak tahu apakah itu wali tapi dalam hati saya meyakini bahwa orang tersebut wali. Orangnya putih sudah sepuh. Tapi saat thowaf lancar. Saat thowaf yang dibaca, "LabaikaAllahuma labaik, la ujuba, wa la riya'a wa la sum'ata". Terus seperti itu yang dibaca. 

Satu putaran saya kalah dan orang itu hilang. Saya mengatakan kepada anak saya itulah orang yang mengajarkan doa yang penting kepada kita bahwa mungkin ibadah kita ada ujubnya, ada riya'-nya dan ada sum'ah-nya. Sehingga diajari doa tersebut. 

Ujub adalah sifat kagum dengan dirinya sendiri. Sedangkan riya' adalah sifat ingin dilihat orang. Dan Sum'ah adalah sifat ingin didengar orang. Yang kesemuannya tujuannya agar mendapatkan penghormatan. Nah, yang dikhawatirkan oleh Syekh Ibnu Athailah adalah hawa nafsu yang masuk dalam ketaatan berupa ujub, riya', dan sum'ah.  

Kondisi kedua seseorang atau para murid  adalah maksiat.  Baik maksiat yang jelas maupun tidak jelas. Akan tetapi maksiat ini juga dapat menjadikan kita diridlai oleh Allah Swt. Sebaliknya maksiat juga dapat menjadi penghalang menuju Allah. 

Ketika maksiat Ilmu dalam Alquran dan haditsnya jelas yaitu agar segera taubat dan istigfar. Dan semua itu tidak dikhawatirkan oleh Syekh Ibnu Athaillah. Akan tetapi yang lebih bahaya adalah ketika hawa nafsu masuk dalam maksiat tersebut. Yaitu, "Tutsirul al-Maksiat". Yaitu terus menerus melalukan maksiat karena menganggap maksiat tersebut sepele. Sampai Nabi memperingatkan: 

لاصغيرة مع الاصرار ولا كبيرة مع الاستغفار

Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus. Yang ditakutkan oleh Syekh Ibnu Athaillah adalah ketika kita melakukan maksiat, Kemudian Nafsu menyelinap sehingga kita maksiat terus menerus dilakukan. 

Tidak ada dosa besar jika disertai istigfar setelahnya. Oleh karena itu Mbah Yai Djamal menerangkan setelah istigfar, seharusnya disertai Nadm atau menyesali dosa yang dilakukan. Dan al-Iqla' yaitu berjanji tidak melakukan maksiat yang sama. 

Kondisi Salik yang ketiga adalah nikmat. Dalam keadaan nikmat pun kita bisa sampai kepada ridla-nya Allah Swt. Bagaimana caranya?. Adalah dengan bersyukur kepada Allah dan jangan kufur nikmat atau mengkufuri nikmat tersebut. Namun yang patut diwaspadai adalah ada hawa nafsu yang masuk dalam nikmat tersebut yaitu : "Istqalah" atau menganggap bahwa nikmat yang kita dapat dari Allah sangat kecil. Padahal sebenarnya nikmat yang kita peroleh sudah luar biasa. 

Kebanyakan orang menganggap nikmat jika mendapat uang 100 juta dadakan. Padahal ditakdirkan Allah bisa ibadah. Ada yang dimakan walaupun sederhana itu adalah nikmat yang luar biasa dari Allah. 

Menganggap nikmat dari Allah adalah kecil itulah hawa nafsu yang menjadikan nikmat itu menjauh dari diri kita sehingga kita tidak sampai kepada Allah. Sehingga dalam Alquran, Allah berfriman:

وان تعدوا نعمة الله لا تحصوها 

Jika manusia menghitung nikmat Allah maka mereka tidak akan bisa menjangkaunya. Nikmat Allah diberikan kita dari mulai bangun, sampai akan tidur dan bahkan saat tidur. Kita tidak dapat menghitungnya. Hanya saja hawa nafsu menutup itu sehingga menganggap nikmat tersebut adalah biasa dan merupakan nikmat yang kecil. 

Keadaan Murid yang terakhir adalah mendapat Baliyat atau ujian dari Allah. Pasti semua orang pernah mendapat unjan dari Allah. 

Kemarin saat di Yaman kami menaiki Hiace ke Oman dan berziarah Ke Imran yang dalam Alquran diabadikan dalam surat Ali Imran. Yaitu ayah dari Siti Maryam kake Nabi Isa. Panjang makamnya sekitar 30 Meter. Dijelaskan oleh Juru kuncinya bahwa sejak memjumpai makam Nabi Imran ini panjangnya 30 meter. Tapi wa Allahu 'Alam apakah panjang beliau 30 atau tidak. Memang dalam kitab-kitab dijelaskan Nabi adam tingginya 60 hasta atau 30 meter. Mirip-mirip tersebut. 

Di atas gunung di daerah itu ada maqam Nabi Ayub. Tapi disana tidak boleh membaca tahlil. Akhirnya kami membaca Yasin. Nabi Ayub dalam sejarah diceritakan hidupnya penuh dengan ujian. Ada Nabi-nabi Allah yang melebihi pangkat dari Nabi yang lain yang disebut ulul azmi. Bukan karena hasil ibadahnya. Tapi hasil sabarnya dalam menghadapi ujian sehingga muncul perintah Allah: 

فاصبر كما صبر اولو العزم من الرسل 

Artinya : Bersabarlah kamu seperti kesabaran rasul-rasul ulul azmi. 

Sehingga ketika diuji yang harus ketika lakukan adalah bersabar untuk sampai Kepada Allah. 

Kita apabila disuruh milih jalan menuju Allah dari 4 keadaan ini pasti banyak yang memilih jalan nikmat. Padahal banyak juga yang terpeleset saat diberi nikmat. Kenapa?. Karena menganggap kecil nikmat tersebut. Padahal banyak juga yang sampai kepada Allah melalui ujian. 

Abah Djamal pernah cerita terkadang ada murid bertemu dengan guru mursyid yang mempertemukan adalah karena mendapat Baliyat atau ujian. Dan didalam baliyat hanya satu yang harus dilakukan adalah sabar. 

Dalam ayat yang menyatakan "Inalilahi". Allah menyatakan bahwa pasti Allah akan menguji kita dengan sesuatu yang kecil. Yang tidak melebihi kemampuan kita.  Sehingga dalam menghadapi ujian ini kita diperintah sabar dan hal itu tidak dikhawatirkan. Karena yang dikhawatirkan adalah jika ada hawa nafsu masuk dalam baliyat tersebut yaitu berkeluh kesah, dan menggerutu. Atau tidak terima dengan cobaan tersebut. 

Oleh karena itu berkeluh kesah yang benar adalah berkeluh kesah kepada Allah. Akan tetapi kadang kita tidak berkeluh kesah jika ujiannya tidak dinaikan oleh Allah. 

Cobaan dapat menjadikan sampai kita kepada Allah jika kita bersabar. Dan yang perlu kita waspadai adalah adanya hawa nafsu di dalamya yaitu berkeluh kesah atas cobaannya. 

Imam Ghazali atau memerangi hawa nafsu yang masuk di dalam 4 kondisi tersebut. Bisa wajib, sunah, dan dianjurkan. Berhukum wajib jika mengajak kepada yang haram. Yaitu memerangi hawa nafsu. Bagaimana caranya adalah dengan melakukan 3 hal :
1- Dzikru Manaqibu Sholihin al-Mutaqadimin atau menyebut, membaca manaqib orang-orang sholeh sebelum kita sehingga muncul keinginan meniru mereka atau setidaknya membandingkan diri kita. 

Ketika di Yaman saya ziarah di Sayidil Habib bin Thohir bin Husain di Masileh Yaman. Dulu beliau tidak mau kembali ke Masileh karena sudah menjadi tokoh di Madinah. Kemudian diperintah oleh ibunya untuk pulang. Tapi ayah dan hatinya menghendaki menetap di madinah.

Akhirnya Rasulullah hadir langsung. Beliau dawuh, "Nak, Kamu di Madinah bagus, karena berada dengan saya, tapi kamu pulang ke Masileh jauh lebih bagus!". Akhirnya beliau pulang ke Masileh. Amalan beliau yang mashur adalah wirid:
يا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينْ      يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِين
يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينْ     فَرِّجْ عَلَى الْمُسْلِمِينْ

Ada lagi yang saat kita akan ziarah yaitu Qasidah Salamullahi Yasadah mina ar-rohmani Yasakum. Beliau juga yang menulis kitab Sulam Taufiq yang dibaca rutin oleh Kiai Kholil Bangkalan dan Bu Nyai Khuriyah. Saat ziarah kami bertemu dengan cicitnya dan berkesempatan masuk ke Ma'bad atau tempat ibadah-nya. Bagi orang Tarim tempat ibadah orang sholeh lebih utama dari maqam-nya. 

Kami juga berkesmpatan masuk ke Rumah beliau. Seperti ndalemnya Mbah Yai Djamal tapi tingkat 3 dan warna putih. Rumah itu tidak di waris tapi diwakafkan. 

Untuk ziarah ke sana biayanya sekitar 50-an. Biaya itu tidak mahal karena Habib Abdullah al-Alawi al-Hadad mengatakan, "Siapapun orang yang ziarah ke Makam Zanbal / Tarim berapapun biayanya akan saya ganti". Tapi tidak langsung. Maksudnya akan datang dari arah yang tidak terduga. Sampai isteri saya kaget mengelurkan sekian. Tiba-tiba ada lagi. 

Di rumah Habib Thohir itu pada lantai ke-2 ada tempat duduk. Cicitnya dawuh di tempat duduk itu biasanya datuknya mewiridkan 25.000 tahlil. 25.000 sholawat dan 25.000 dan Allah, Allah. Cerita-cerita seperti inilah yang menurut Imam Ghazali mampu menarik kita berpikir kita berapa kali?. Oleh karena itu membaca atau mendengar atau menyebut cerita orang sholeh ini dapat membangkitkan semangat kita mujahadah. Sampai dikatakan:

عند ذكر الصالحين تنزل الرحمة
Ketika manaqib orang-orang sholeh disebut turun rohmad Allah. Oleh karena sering-sering menceritakan para sholihin. Sehingga apabila orang tua kita menceritakan kepada anak-anaknya tentang orang sholeh adalah dalam rangka menurunkan rahmad. Padahal sekarang berperang dengan HP yang banyak menceritakan manaqib orang-orang fasik yang dapat menurunkan laknat. 

Pada lantai Ke-3 ada Ma'bad yang isinya hanya 2 sajadah. Cicitnya bercerita di sinilah datuk kami menghasbiskan waktu sholat dhuha  1 rokaat dengan 8 juz. Jika sholat malam di tempat ini 1 rokaat 10 juz. Inilah thoyil waqti atau melipat waktu. Sampai setiap malam ketika beliau masih hidup rumah itu terbang ke awan. Sampai tegangga-tetangganya mengetahui. Beliau mengatakan bahwa tidak ada satu jengkal pun tanah rumah saya yang tidak digunakan untuk khataman.  Inilah cara agar kita bangkit untuk mujahadah. 

cerita ini terdapat pada masa Habib Thohir. Lalu bagaimana para sahabat?. Dan seperti apa Rasulullah?. 

Saya pernah menyaksikan Habib Umar al-Hafiz sholat jamaah. Ngaji saya tidak pernah melihat wajahnya ditekuk. Terus senyum. Bahkan ada satu tamu tanpa antre. Nyelonong ke Habib Umar sambil menepuk-tepuk tubuh beliau. Beliau hanya tersenyum. Dan tidak diusir. Wajahnya membuat kita bangkit ingin melakukan ibadah. Ini baru cucu Rasulullah. Belum ketika memandang Rasulullah. Belum jika bertemu Allah Swt. 

2- Mujalasatus Sholihin yaitu sering duduk dengan orang sholeh. Di dalam Manaqib Habib Ali bin Husain al-Habsy bahwa yang paling berbahaya adalah duduk dengan Ahli Fulus. Yang paling bahaya adalah ketika duduk dengan orang yang di dalam pikirannya uang terus. 

3- Jangan Sembrono waktu kita terbatas demi kebahagiaan yang tidak terbatas. Dunia adalah hari yang pendek. sedangkan akhirat adalah hari yang panjang. Sehingga akan muncul semangat memerangi hawa nafsu. Semua terasa mudah apabila kita gantungkan dengan pertolongan Allah Swt. 

- Disarikan dari Pengajian Al-Hikam setiap Malam Selasa oleh Dr. KH. Abdul Kholiq Hasan, M.HI di Masjid Bumi Damai Al-Muhibin Tambakberas Jombang 6 Mei 2024. 

Posting Komentar untuk "Ngaji Hikam Bab Hawa Nafsu"