Berikhtiar Menjadi Guru

Pada sebuah kesempatan workshop peningkatan mutu guru, seorang narasumber memberikan umpan cerita inspiratif kepada peserta tentang pelayanan sebuah dealer servis mobil. Bahwa setelah satu minggu menservis mobil sang narasumber dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan seperti bagaiman pegawainya menyambut kedatangan tamu, penjelasan tentang produk, kesesuaian harga barang yang  kesemuanya mengarah kepada tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan dealer tersebut. 

Feed back-nya adalah, pelayanan tentang servis mobil (benda mati, sekedar alat transportasi) saja ditanyakan tentang kepuasan pelayanan servisnya, lalu bagaimana kita sebagai guru pengelola sumberdaya manusia?. Sudahkah kita menjadi guru berkualitas yang diharapkan murid dan wali murid?. Sudahkah kita sepenuhnya berikhtiar melayani para siswa dengan ilmu dan pendidikan?. Atau sudahkah kita menjadi guru yang mengantarkan siswanya untuk bisa menjawab kebutuhan zamanya. 

Sebelum menjawab pertanyaan itu, Sang Narasumber membuat ilustrasi kepada guru-guru yang hadir agar mereka membayangkan diri sebagai murid, lalu guru seperti apakah yang mereka inginkan?. Diantara guru-guru tersebut ada yang menjawab, ingin memiliki guru yang menguasai materi, jelas dalam menerangkan, sabar, tidak pilih kasih, disiplin, tidak banyak memberi PR, perhatian, humoris, dan berkharisma. 

Sebaliknya, guru-guru yang lain juga ditanya apabila menjadi murid, guru apakah yang paling buruk?. Dan jawabanya adalah guru yang suka memberi PR, tidak sabaran, pilih kasih, tidak menguasai materi, tidak perhatian dll. Menariknya adalah jawaban-jawaban yang diutarakan oleh guru tersebut sama persis dengan hasil angket kepada murid yang ada di Amerika. 

Sejenak jika kita perhatikan, sebenarnya uraian yang diutarakan guru (yang diilustrasikan menjadi siswa) atau murid-murid yang ada di Amerika adalah mereka lebih menginginkan guru yang memiliki karakter (disiplin, sabar, humoris perhatian) daripada guru yang kognitifnya materinya mumpuni (bukan berarti penguasaan materi tidak penting). 

Lalu bagaimana caranya mengatasi siswa berkebutuhan khusus (nakal, mbeling, tidak pahaman tentang materi), diantara solusi yang ditawarkan adalah sering melakukan komunikasi dengan wali murid tentang keadaan siswa (bisa melalui web), memberikan pelajaran tambahan di luar jam sekolah, memperlakukan secara khusus termasuk memberikan soal ujian yang berbeda, di tahajudi (didoakan ketika shalat tahajud), di puasani, dibacakan fatihah setelah shalat maktubah. 

Pada opsi tawaran solusi didoakan ketika shalat tahajud , dipasani dan bacakan fatihah setelah shalat mektubah banyak kiai-kiai yang merapkan, seperti Kiai Sholihin Jagalan Jombang yang istiqomah puasa tahunan dan ditujukan untuk murid. Mendoakan ketika shalat tahajud seperti Kiai Umar Mengkuyudan. Bahkan beliau merangking santri-santrinya dari yang termbling, mbeling biasa-biasa, dan tidak mbeling, kesemuan tujuannya adalah untuk didoakan. Hasilnya santri yang termbeling malah ketika boyong menjadi Kiai Besar. 

Maka sebenarnya perlu sekali sebagai guru untuk selalu mengevaluasi cara mengajar (metode) juga kurikulum yang sesuai dengan tantangan zaman (fleksibel tergantung mata pelajaran). Selain itu guru juga harus membekali dengan karakter, sikap, attitude yang dapat berakhlaqul karimah. 

Berbicara tentang guru yang berkarakter dan memiliki penguasaan materi yang mempuni, sebagai santri patron saya adalah kiai. Dan ternyata narasumber dan Kepala Madrasah kami banyak memberi stimulus tentang kisah-kisah kiai dalam mendidik santri/ murid,  diantaranya:

1. Walaupun telah menjadi guru jangan pernah berhenti belajar seperti pesan Kiai Mustofa Bisri yang diminati izin putranya Gus Bisri Mustofa yang hendak berhenti kuliah. Kiai Mustofa Bisri atau Gus Mus tidak meng-iyakan juga tidak melarang, beliau berpesan "Kamu boleh berhenti sekolah/ kuliah tapi jangan berhenti belajar". 

2. Sebagai Guru Hendaknya Terus mengupdate Ilmu, Ada contoh seorang Kiai Alim di Tambakberas  yaitu Kiai Sulthon Abdul Hadi, tapi sebegitu Alimnya, Kiai Sulthon Abdul Hadi tetap istiqomah setiap malam muthalaah kitab kuning sebagaimana kesaksian santri-santri beliau. Selain itu ada Kiai Mohammad Djamaluddin Ahmad yang sebelum beliau mengajar kitab Ikhya' beliau berjam-jam belajar terlebih dahulu. Bahkan di Jawa Tengah ada Kiai yang menetapkan standart tinggi tentang muthalaah sebelum mengajar, Beliau dawuh, "seorang guru hukumnya haram mengajar kalau tidak belajar". Kiai tersebut sebelum sakit mengaji kitab Ikhya', sampai ketika beliau sakit keras beliau tidak bisa mengaji dan muthalaah, dan ternyata kondisi itu terjadi sampai beliau wafat. Ada santri yang kemudian bertanya kepada karip sang kiai, kenapa Kiai tetap tidak mengajar ketika sakit?. Karib sang kiai menjawab, karena beliau ketika sakit sudah tidak bisa muthalaah dan bagi beliau haram hukumnya seorang guru mengajar jika sebelumnya belum belajar. 

3. Guru Memiliki Strata Kemuliaan yang tinggi tapi juga memiliki Affat yang besar. Diantara Affat seorang guru adalah ketika ia berhenti belajar. Seseorang akan pandai jika ia terus belajar dan ia akan seketika bodoh jika berhenti belajar. Jangan sampai guru berhenti belajar sementara ia memiliki murid yang terus belajar. 

Jika memperhatikan kisah-kisah bagaimana kiai mendidik santri, atau tentang bagaimana seharusnya menjadi guru yang diharapkan oleh murid, saya jadi berpikir bahwa guru bukanlah kata benda (nomina) melainkan kata kerja (verba) bahwa menjadi guru adalah ikhtiar belajar yang tiada henti, selalu mengevaluasi diri, terbuka dengan perubahan, dan berkomitmen untuk mengantarkan anak didiknya sebagai manusia manusia yang bermanfaat kelak. Nah, pertanyaannya ada dimanakah kita sebagai guru dimata murid?. Guru yang diharapkan atau yang sering memberi PR?. (*)


Bersama H. Dr. Mohammad Farid, Ketua Yayasan Roisn Fikr Jombang  di Hotel dan Vila Arayana Trawas 24 Desember 2018

1 komentar untuk "Berikhtiar Menjadi Guru"