Ngaji Haul Ibu Nyai Chrurriyah : 7+1 Peninggalan Para Ulama
Ibu Nyai Churriyah adalah puteri dari Ibu Nyai Musyarafah. Sedangkan Ibu Nyai Musarafah adalah puteri dari Kiai Bisri Syansuri. Suami beliau adalah KH. Abdul Fattah putera dari Kiai Hasyim. Dan Kiai Hasyim adalah putera dari Mbah Idris.
Dulu Abah Saya Kiai Mansur Lasem, ketika memanggil Ibu Nyai Musyarafah (Ibu dari Bu Nyai Churriyah) dengan sebutan “Yu” yang dalam istilah Jawa tengah-annya berarti “Mbak Yu”. Oleh karena itu saya memangil putera-puteri Ibu Nyai Musyarafah dengan sebutan “Mbak” dan “Mas” sebagaiaman Mbak Churriyah. Mas Taufiq, Kang Nashir, Mbak Syafi’, dsb.
1- Para Ulama Memberi Peninggalan Berupa Tongkat
Orang tua zaman dahulu termasuk para ulama dan kiai selalu memiliki tinggalan-tinggalan atau warisan untuk para penerusnya yang sangat bermacam-macam jenisnya. Ada yang meninggalkan jimat, gaman, keris, pedang, dan peninggalan-peninggalan yang lain.
Beberapa ulama dan para kiai kuno ada yang meninggalkan tongkat (teken) kepada penerusnya. Dan umumnya tongkat itu sudah diisi energi, isi dan khasyiatnya. Bahkan ada satu riwayat yang menyebutkan bahwa ada sahabat Nabi yang wafat dan tongkatnya ikut dikuburkan di dalam kain kafannya. Sehingga peninggalan orang tua kepada generasi penerusnya yang berupa tongkat termasuk sunah. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِيْنِكَ يٰمُوْسٰى قَالَ هِيَ عَصَايَۚ اَتَوَكَّؤُا عَلَيْهَا وَاَهُشُّ بِهَا عَلٰى غَنَمِيْ
Bahwa Nabi Musa memiliki tongkat dengan berbagai macam fungsi. Bahkan disebutkan semua nabi-nabi memiliki tongkat. Dan tongkat tidak identik dengan orang tua. Seorang yang masih muda juga boleh menggunakan tongkat karena para Nabi melakukannya. Sehingga menggunakan tongkat merupakan sunah.
Tongkat-tongkat yang dimiliki oleh Para Nabi, ulama, kiai dan orang tua kita, umumnya telah terisi dengan energi.
وَلِيَ فِيْهَا مَاٰرِبُ اُخْرٰى
Di dalam tongkat terdapat energi, kegunaan dan khasyiyat-khasiyat lainnya. Oleh larena itu ada ulama yang memberi tinggalan kepada para penerusnya dengan tongkat atau dalam istilah jawa “teken”.
2- Ulama dan Orang Tua Mewariskan Pakaian
Ontokusumo
Ada ulama yang memberi peninggalan kepada para penerusnya baju atau pakaian yang disebut ontonkusumo. Hal ini sebagaimana diamalkan oleh Imam Syafii. Beliau meminta baju bekas dari Imam Ahmad bin Hanbal. Baju Imam Ahmad itu disimpan oleh Imam Syafii dan dimanfaatkan untuk mengobati orang sakit.
Jadi ketika ada orang sakit yang datang kepada Imam Syafii, maka Beliau mengguyur baju Imam Ahmad tersebut kemudian diperas airnya lalu diberikan kepada orang yang sakit. Apa yang dilakukan oleh Imam Syafii ini juga sunah. Dan bukan merupakan bid’ah. Karena disebutkan dalam Alquran:
اِذْهَبُوْا بِقَمِيْصِيْ هٰذَا فَاَلْقُوْهُ عَلٰى وَجْهِ اَبِيْ يَأْتِ بَصِيْرًاۚ
Artinya : Pergilah kamu dengan membawa bajuku ini, lalu usapkan ke wajah ayahku, nanti dia akan melihat (kembali)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa baju dari Nabi Yusuf ketika diusapkan ke wajah ayahnya yaitu Nabi Yakub yang pada saat itu mengalami sakit mata. Akhirnya Nabi Yakub bisa sembuh dan bisa melihat kembali. Di dalam tafsir modern, dijelaskan bahwa sakit mata Nabi Yakub bukan buta tapi katarak. Dan sembuhnya penyakit katarak itu sebab ditutup baju dari Nabi Yusuf.
وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
Pakaian takwa merupakan pakaian yang terbaik.
Kisah Nabi Yusuf dan Nabi Ayub tersebut sebagaimana kisah ketika Imam Syafii tabarukan dengan baju Imam Ahmad yang merupakan guru dari Imam Bukhari. Dimana baju tersebut adalah baju yang biasa digunakan oleh Imam Ahmad untuk mengajar ilmu, membacakan hadist dan sunah Rasul, serta untuk melaksanakan ibadah-ibadah lain.
Oleh karena itu orang tua zaman dahulu, para kiai dan ulama memiliki tradisi meninggalkan baju untuk generasi penerusnya. Dan baju yang paling baik untuk diwariskan kepada generasi peneris adalah pakaian yang banyak digunakan untuk ibadah. Karena dari ibadah yang dilakukan dengan memakai baju tersebut akan mengeluarkan tasar dan barokah sehingga bermanfaat diwariskan untuk anak.
3- Orang Tua Minggali Anak Berupa Peti Kosong
Adakalanya orang tua meninggali anak dengan warisan berupa peti kosong yang tidak ada isinya. Sebagaimana cerita ada anak di Saudi. Dia merupakan anak dari orang yang kaya. Masih sekolah setingkat SMP sudah meminta mobil kepada orang tuanya.
Saat dimintai mobil, Sang Bapak berkata, “Kamu akan saya belikan mobil jika prestasinya akademikmu tinggi dan terus meningkat!!”. Akhirnya sang anak semangat untuk belajar dan mengejar prestasi sesuai target dari bapaknya.
Pada saatnya sang anak bisa mencapai target orang tuanya. Dia pun menagih janji bapaknya untuk meminta mobil. Oleh Bapaknya, Si Anak diberi peti kecil. Dibuka isinya Alquran. Anaknya marah. Minta mobil tapi diberi Alquran. Akhirnya peti itu dibuang dan samg anak pergi minggat dari rumah sampai 20 tahun.
Ketika sudah melewati waktu 20 tahun. Anak itu pulang. Bapak dan Ibunya sudah wafat. Tapi kotak yang dibuang 20 tahun yang lalu masih utuh di lantai ditempat dulu dia membuang kotak tersebut . Oleh Ayah dan Ibunya kotak tersebut tidak dirapikan juga tidak dibersihkan.
Akhirnya oleh Sang Anak yang baru saja pulang dari 20 tahun pergi diambilah kotak tersebut. Kotak itu masih tetap ada isinya yang berupa Alquran. Tapi yang tidak diketahui anak itu adalah di bawah Alquran tersebut ada kunci mobil baru. Tujuan dari orang tuanya adalah, “Saya beri kamu mobil tapi jangan lupakan Alquran”. Jangan dibalik, diberi Alquran tapi jangan lupa Mobil.
Mengapa orang tuanya selain memberi mobul juga memberi anaknya Alquran. Karena tujuannya tidak hanya meninggalkan harta tapi juga meminggalkan warisan yang ada “sakinah” dan keberkahan sebagaimana keterangan Alquran:
اَنْ يَّأْتِيَكُمُ التَّابُوْتُ فِيْهِ سَكِيْنَةٌ
4- Terkadang Orang Tua Wafat, Meninggalkan Kuku
Di dalam kitab Tarikhul Rusul wal Muluk atau biasa kita sebut Tarikh Thobari diceritakan bahwa Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang merupakan saudara ipar dari Rasulullah karena saudarinya diambil isteri oleh Nabi Muhammad Saw.
Ketika akan wafat, Muawiyah meninggalkan pusaka kepada ahli warisnya yang isinya adalah kuku-kuku Nabi Muhamamd Saw.
5- Ada ulama yang wafat tidak meninggalkan apapun. Tapi hanya meninggalkan barang-barang yang secara harga tidak ada nilainya. Hanya saja barang itu pernah digunakan oleh orang sholeh tersebut. Dan itu disebut termasuk pusakanya orang sholeh.
Terkadang peninggalan itu berupa tempat yang tidk ada wujud fisik bangunannya tapi ada bekas atau atsar ibadah sehingga tempat itu menjadi barokah.
Diceritakan Imam Subkhi rumahnya ada di Mesir. Beliau memiliki nama Subkhi karena berasal dari daerah yang disebut “Subkhi al-Abid”. Dulu Mbah Hasyim pernah berkata kepada Abah Saya, Mbah Manshur Lasem bahwa, “Sur, (Mansur), bocah iku ojo nganti durung iso jurumiyah, banjur moco Jam’ul Jawami’”. Artinya jangan sampai ada anak santri belum bisa jurumiyah tapi sudah membaca Jam’ul Jawami’.
Mbah Hasyim mengatakan
تقرا ابن السبكي والجريمة تبكي
Saudara membaca Jamul Nawami’-nya Imam Subkhi tapi jurumiyahmu masih menangis (belum bisa).
Ada kalimat Mbah Hasyim lagi yang secara linguistik tidak nemu yaitu kalimat:
اذا حصلت القابلية حصلت البركة
Idza khasolatil qobidiyah (qobiliyah / kebidanan) khasolatil barokah.
Ketika guru dan murid berhadap-hadapan maka akan menghasilkan keberkahan. Dalam kalimat tersebut Mbah Hasyim menggunakan lafadz قابلية yang sebenarnya bermakna kebidanan.
Satu ketika Imam Subkhi dari mesir ingin sowan kepada Imam Nawawi yang ada di Damaskus. Setiba di Damaskus Imam Subki didahului dengan kabar kewafatan Imam Nawawi. Padahal Imam Nawawi adalah orang alim pengarang kitab Roudhotut Tholibin, Arbain Nawawi, Al-Adzkar, Riyadus Sholihin, Tahdzibu Asmaul Lughah, Majmu’ Syarah Muhadzab, al-Tibbyan fi Adabi Khamalatil Quran, dsb.
Akhirnya Imam Subkhi mencari-cari “tinggalan” dari Imam Nawawi. Sampai beliau mencari tempat dimana Imam Nawawi mengajar untuk bertabaruk dari tempat tersebut. Sampai di tempat itu beliua bertabaruk dengan “gelesot-gelesot”.
Ulama meninggalkan tempat, yang secara fisik sudah tidak ada tapi tempat mengajar nya masih ada. Begitu juga para kiai. Walaupun secara fisik beliau-beliau telah wafat. Tapi tempat yang digunakan untuk kebaikan, untuk mengajar, ibadah, wirid, zikir dan itu sudah dilakukan bertahun-tahun maka pasti barokah.
6- Para Kiai Kuno Mewariskan Kitab
Tahun 1979 Syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani datang ke Lasem. Di rumah Abah Saya, Mbah Mansur. Saat itu Syekh Yasin suka sekali ketika disuguhi dengan ketan yang ditaburi kelapa dan kacang. Sampai Beliau habis banyak. Yang ikut dengan Syekh Yasin saat itu banyak diantaranya adalah Yai Ali Mas’adi mantu dari Mbah Yai Kusairi Mojokerto, dsb.
Ketika masuk di gubuk Mbah Mansur, Syekh Yasin berkata:
فِيهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ
Para Kiai kuno zaman dahulu meninggalkan kitab kepada generasi penerusnya. Dan yang paling mahal dari kitab itu adalah ada sah-sahannya. Yaitu kitab yang sudah diberi makna oleh Sang Kiai.
Kitab yang paling barokah adalah kitab Kiai yang di dalamnya ada sah-sahan kiai tersebut. Mengapa demikian?. Karena kitab yang sudah dimaknai mengandung riyadoh dan tirakat. Sebab ketika kitab ada maknanya beliau-beliau pasti melakukan :
عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Ada proses menulis ilmu dengan bulpen.
الذين يستمعون القول
Ada proses mendengarkan gurunya saat membacakan kitab dan ilmu.
وَتَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ
Telinganya mendengarkan ilmu yang dibacakan oleh gurunya.
Karena adanya tiga riyadloh ini, sehingga diantara tirakatnya para kiai dahulu adalah bulpennya menulis “asahan” atau maknani kitab. Walaupun kita sudah tidak pondok. Sebaiknya kita menyempatkan diri untuk maknai kitab. Sebagaimana Kiai Kuno dulu masih menyempatkan maknani kitab sendiri. Karena itu bagian dari riyadhoh dan menjadi tinggalan untuk generasi penerus.
Mbah Maksum Lasem pernah mengajak tiga orang santrinya untuk sorogan Kitab Mubadzab yaitu Mbah Khudlori tegalrejo. Mbah Mansur ayah saya. Dan satu santri dari Banyuwangi. Tidak tahu alasannya apa Mbah Maksum melakukan itu.
Anehnya Mbah Maksum saat santri-santri tersebut membaca kitab Muhadzab beliau ikut memaknani kitabnya. Lama-kelamaan beliau cerita, ada pengusaha datang ke Mbah Maksum, ingin sekali mendapat barokah sah-sahannya Mbah Maksum. Dan kirim uang. Saat itu Mbah Maksum dawuh, Kalau sendiri Mbah Maksum agak berat maka dicarilah tiga santri tersebut. Itu adalah barokah kalau kitab dimaknai.
Mbah Hasyim, Mbah Bisri, Mbah Wahab, Mbah Kholis, serta Kiai Mas Mansur dari Muhammadiyah ketika datang ke Makah masanya hampir bersamaan. Di sana mereka “ngesahi kitab” kitab diberbagai ulama diantaranya Syekh Mahfudz Termas, Syekh Khotib Minankabau, dan ulama Yogya yang menetap di Makah dan sangat alim bernama Syekh Bakir Al-Jugjawi.
Abah saya, Kiai Mansur ikut Mbah Hasyim khataman Shoheh Muslim 4x dan Shoheh Bukhari 3x. Apa yang dilakukan beliau Ini termasuk riyadhoh nya para kiai kuno. Sampai saat ini masih ada makna orisinil dari Mbah Hasyim. Termasuk ulasannya.
Ada cerita di Tebuireng dulu, Mbah Hasyim pernah akan membaca Sunan Nasa’i tapi tidak jadi. Gara-garanya adalah saat akan membaca Sunan Imam Nasa’i dari 2000 santri yang datang, yang mampu membeli dan membawa kitab Imam Nasa’i hanya 50. Yang 1950 Santri yang dibawa adalah Shoheh Bukhori dan Muslim. Akhirnya yang dibaca hanya Muqadimah dari Imam nasa’i.
Ada makna kitab yang jika dibaca memiliki manfaat untuk kesehatan yaitu kitab Asy-Syifa' bi Ta'rifi Huquqil Musthofa disebutkan, “Barangsiapa yang membaca Al-Syifa maka akan disembuhkan penyakitnya oleh Allah Swt”. Karena Makna Al-Syifa’ adalah penyembuhan.
7- Para Kiai dan Ulama Meninggalkan pusaka berupa fitrah yaitu agama. Ini adalah pusaka tertinggi dalam islam. Kita ditinggali fitrah yaitu agama islam yang berupa aqidah ahli sunah wal jamaah.
Sebab dalam karangan Kiai Faqih Maskumambang. Orang tua kalau beda aqidah dengan anak akan menjadi bahaya. Ada kisah anak kuliah di luar negeri, ketika pulang datang membawa ilmu baru yang tidak sama dengan orang tuanya. Akhirnya orang tua disalah-salahkan oleh anak.
Mbah Faqih cerita di Afrika ada orang tua yang merayakan Mualidan sebagianan ajaran ahlisunah wal jamaah. Tapi Anaknya yang baru datang dari kuliah di timur tengah punya paham dan aqidah yang lain. Akhirnya Makanan yang akan dihidangkan pada acara Maulid oleh si anak dituangi bensin. Akhirnya Bapaknya bawa golok dan anaknya di bunuh. Karena perbedaan faham agama. Oleh karena itu bagaimanapun diusahakan agar jangan sampai berbeda faham dengan anak kita.
Syekh Yasin punya guru di india yang karangan hadistnya sampai 15 jilid. Gurunya ini Bermadzhab Hanafi. Bapaknya pembela ahli sunah tapi punya anak yang kuliah dan akhirnya ingkar dengan sunah. Hal itu disebabkan salah menaruh pendidikan sang anak. Oleh karena itu terkadang sekolah umum aqidahnya malah selamat. Karena Konvensional mengukuti aqidah tinggalan orang tua.
Ada guru madrasah salaf, lulusan makah yang aqidahnya juga Nahdliyin. Dia pernah tanya kepada saya, “Gus kulo bade tangklet, ada kiai wafat di mekah apakah istimewa?”. Belum saya jawab, dia sudah menambahi, “Sebab gini lho Gus, itu Abu Jahal mati juga di mekah. Sebagaimana abu lahab dan Abdullah bin Ubay, Lalau lalau Kiai ginana Gus?”. Tidak saya jawab, karena Kiai tidak bisa disamakan dengan Tokoh-tokoh tersebut. 😆
Ada juga para ustadz ketemu saya di Bangil. Di makam Syarifah Khodijah. Tiba-tiba bertanya ke saya, “Kiai kulo bade tanglet, tujuan tawasul saya disini inu meminta rezeki kepada Allah Swt, pertanyaannya adalah tawasul di makam para wali dengan tawasul di BRI cairnya cepat mana Kiai?. 😂
8- Para Ibu Nyai Zaman Dulu Mewariskan Kesholehan
Ibu Nyai zaman dulu dan Ibu Nyai zaman sekarang jika dibandingkan alim dan hebat Ibu Nyai Zaman sekarang. Zaman dulu sulit mencari Ibu Nyai yang bisa baca kitab dan hafal Alquran. Tapi Ibu Nyai zaman sekarang semua alim-alim dan hafal Alquran.
Tapi yang tidak dimiliki Ibu Nyai Zaman Sekarang adalah “sholihah”-nya, ikhlas-nya dan barokah-nya. Karena zaman dulu belum ada selfie. Belum ada seminar. Belum ada rapat-rapat, senam. Dsb.
Walaupun dulu sulit mencari yang bisa baca kitab dan hafal Alquran. Tapi sholeh dan ikhalsnya luar biasa sehingga menetaskan Para Ulama dan Kiai yang luar biasa. Karena pengaruh dan tasar seorang ibu kepada anaknya sangatlah besar.
Tirakatnya para Ibu Nyai zaman dulu adalah Bi Qolbin salim (hati yang selamat) sehingga thobiatuha salimah (tabiatnya selamat). Kegiatannya hanya khidmah kepada Kiai dan santri.
Bu Lek Nafisah dapat adik emak saya yaitu Mbah Sahal Mahfudz. Dulu Mbah Sahal pernah dawuh ke saya, “Mak mu senengane iki ng pawon”. Termasuk tirakatnya isteri Mbah Abdullah Salam Kajen yang juga suka di pawon (dapur). Karena zaman Bu Nyai kuno belum ada seminar muslimat, apalagi menjadi travel umroh.
Para Ibu Nyai kuno Ilmunya tidak banyak tapi menitiskan para kiai hebar. Hidupnya Hanya diisi dengan khidmah. Memasakan santri, ngabdi di pesantren. Dengan kesholehan dan keikhlasan. (*)
-Disarikan dari Ngaji Haul Ibu Nyai Churriyah Fattah Ke-26 oleh KH. Abdul Qoyum Mansur Lasem di Pondok Pesantren Al-Muhibin Tambakberas Jombang, 2 Oktober 2025.
Posting Komentar untuk "Ngaji Haul Ibu Nyai Chrurriyah : 7+1 Peninggalan Para Ulama"