Ngaji Hikam Hikmah Ke-132 & 133
Syekh Ibnu Athaillah Al-Syakandari dalam Al-Hikam Hikmah Ke-132 berkata:
قَالَ الشَّيْخُ أَحْمَدُ بْنُ عَطَاءِ اللهِ السَّكَنْدَرِيُّ r: مَتَى طَلَبْتَ عِوَضًا عَنْ عَمَلٍ طُوْلِبْتَ بِوُجُوْدِ الصِّدْقِ فِيْهِ، وَيَكْفِي الْمُرِيْبَ وِجدَانُ السَّلَامَةِ (حكمة 132، الحكم ج ١ ص92)
Artinya: “Apabila engkau meminta imbalan atas amal ibadah, maka engkau dituntut untuk sempurna dan ikhlas dalam melaksanakannya. Dan cukuplah balasan bagi orang-orang yang tidak yakin (bahwa Allah akan memberikan balasan atas amal ibadah meskipun tidak diminta), selamatnya mereka dari hukuman Allah.” (Al-Hikam Hikmah Ke-132)
Ibadah yang sesungguhnya adalah ibadah seorang hamba yang tidak menuntut suatu imbalan. Lalu apa yang melatarbelakangi suatu ibadah jika bukan imbalan?. Yaitu beribadah atas dorongan mengagungkan sifat ketuhanan Allah Swt.
Jika suatu ibadah masih menuntut imbalan dan pahala, itu maknanya kita sedang beribadah yang bukan karena Allah Swt. Melainkan ibadah untuk diri sendiri dan atas nafsu kita sendiri. Karena hakikat dari ibadah adalah tidak meminta balasan dan imbalan. Murni karena sifat keagungan Allah Swt.
Sebagai contoh ada santri yang memiliki adab dan tata krama dalam menghormati kiai-nya. Satu ketika saat bertemu kiainya, santri ini bersalaman dengan mencium tangan sang kiai. Niatnya ikhlas untuk memuliakan dan mengagungkan sang guru. Bukan berharap diberi sesuatu yang lain yang berupa imbalan dari gurunya.
Suatu ketika ada orang yang bertanya kepada si santri mengapa dia itu mencium tangan kiainya?. Lalu santri tersebut menjawab, “Mencium tangan Kiai adalah bentuk dari cara memuliakan dan mengagungkan guruku, bukan karena aku menginginkan imbalan yang lain darinya!”.
Kisah santri yang tidak berharap balasan dari kiai-nya tersebut merupakan perumpamaan tentang suatu ibadah yang sesungguhnya yaitu ibadah yang tidak mengharapkan imbalan dan balasan dari Allah Swt karena murni untuk mengagungkan-Nya.
Orang yang ibadah dan menuntut imbalan dari Allah Swt, maka dia harus siap dituntut untuk ibadah secara sempurna.
Padahal sesungguhnya walaupun kita tidak berharap akan adanya suatu imbalan dari ibadah, Allah Swt pasti akan memberikan balasan. Entah kita niatkan atau tidak kita niatkan. Sesungguhnya suatu ibadah pasti akan diberikan balasan kepada siapapun hamba-Nya yang beramal. Baik imbalan itu diberikan di dunia maupun di akhirat.
إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا
Artinya : Sesunggunya Allah Swt tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalannya dengan yang baik.
Walaupun seorang hamba dalam beribadah tidak menginginkan pahala, balasan dan imbalan atas ibadahnya. Tapi Allah Swt pasti akan memberikan balasan atas suatu amal kebaikan. Dan kita wajib untuk meyakini hal tersebut. Dan apabila kita telah mengetahui hal tersebut tapi kita masih menginginkan pahala dan balasan, itu berarti kita kurang percaya dan bahkan curiga kepada Allah Swt.
Ada dua alasan orang yang beribadah tapi dia masih berharap imbalan. Pertama : Orang tersebut tidak yakin, tidak percaya, serta curiga bahkan sampai suul adab kepada Allah Swt. Kedua : ibadahnya bukan untuk Allah Swt melainkan untuk dirinya dan atas dorongan nafsunya sendiri.
Allah Swt pasti memberikan balasan atas ibadah. Baik balasan itu diberikan di dunia maupun di akhirat sebagaimana ayat:
إن الأبرار لفي نعيم (13) وإن الفجار لفى جحيم (14)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan. Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka. (Qs. al-Infhitar ayat: 13- 14).
Jika Allah Swt sudah berfirman demikian, itu adalah perkara yang pasti. Bahwa ibadah kita akan diberikan balasan berupa surga tempat kenikmatan. Lalu mengapa kita dalam ibadah masih niat ingin mendapat balasan?.
Ayat di atas menunjukan bahwa Allah Swt sendirilah yang berjanji akan meberikan suatu balasan atas amal. Seharus kita percaya dan yakin akan hal itu, baik balasan yang ada di akhirat kelak yang berupa surga. Atau balasan yang diberikan di dunia beruapa “imdad-imdad” yaitu pertolongan-pertolongan-Nya yang ada di dunia.
مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Artinya : Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang yang berbuat kebaikan “pasti” oleh Allah Swt akan memberikan 10 kali lipat balasan di dunia. Sebagaimana hadist yang menjelaskan bahwa orang yang mebaca satu kali sholawat maka akan dibalas 10 kali lipat. Membaca 10 kali akan dibalas oleh Allah Swt berupa rahmad 100 kali. Membaca sholawat 100 kali diberi rahmad oleh Allah Swt 1000 kali.
Rahmad adalah kasih sayang Allah Swt yang diantara bentuknya adalah berupa kemudahan. Bisa berupa kemudahan dalam hal memperoleh cita-cita dan keinginan kita.
Kiai Husain Muhammad ketika sowan ke Kiai Mahrus Lirboyo (W. 1986 M) pasti menemukan gedung-gedung baru yang berdiri. Saat ditanyakan prihal gedung tersebut jawaban Mbah Yai Mahrus, “Oh Iya ini harganya 700.000!”. Kiai Husain tanya, “Masak gedung ini harganya hanya 700.000?”. Dijawab Kiai Mahrus, “Iya 700.000 sholawat!”.
Berapa rahamad yang diturunkan Allah Swt dalam hitungan 700.000 kali sholawat?. Yaitu 7.000.000 rahmad, sehingga Mbah Yai Mahrus bisa membangun gedung-gedung baru setiap tahun.
Abah Djamal memiliki kebiasaan saat putera-puteranya membangun pesantren, beliau datang ke bangunan tersebut dan membacakan sholawat Dalailul Khairat.
Abah Djamal juga memiliki kebiasaan saat akan membangun suatu bangunan yaitu membaca (1) Laqadjaa 11 kali. (2) Ayat Kursi 11 Kali. (3) Lalu di tiupkan sampai air liur keluar pada batu kerikil. (4) Batu kerikil itu kemudian diletakan di tiang-tiang yang ada dan pojok-pojok pondasi. (5) masing-masing diberi sebanyak 3 kerikil. (6) Meletakannya dalam keadaan suci. (7) Sebisa mungkin saat setelah membaca dan meniup batu kerikil jangan berbicara apapun dulu.
Setiap kali membangun itulah yang diajarkan Abah Djamal di banyak bangunan-bangunan baik di Tambakberas sampai di Cangkring Perak. Apa manfaat dari membacakan bangunan dengan bacaan-bacaan itu?. Adalah kita harus yakin Allah Swt pasti memberikan “imadad-nya” yang berupa pertolongan yang memudahkan ketika kita melakukan suatu ibadah.
Buktinya apa jika mendapat “imadad” yang berupa pertolongan dan kemudahan?. Adalah saat setelah dipondasi tidak pernah mengalami “mandek” atau terhenti sampai bangunan itu selesai. Itu artinya kita mendapat imdad karena telah melakukan suatu ibadah.
Amal shodaqah juga demikian pasti Allah Swt akan menurunkan imadadnya selain juga nanti diberikan imbalan di akhirat kelak. Sekarang sudah mendekati rojabiyah. Dan kita adalah bagian dari yang memiliki acara. Umumnya sebagai orang yang sedang memiliki acara maka harus ikut berkonstribusi.
Shodaqah tidak akan menjadikan seseorang menjadi melarat. Sampai Nabi Muhammad Saw bersumpah :
والذي نفسي بيده ما نقص المال بصدقة
Artinya : “Demi Dzat yang menguasai jiwaku harta tidak akan berkurang dengan dishodaqahkan”.
Secara matematik orang shodaqah berkurang hartanya. Tapi pasti uang atau harta itu menjadi bertambah-tambah. Bisa bertambah sama persis, lebih dan bahkan berupa keberkahan.
Suatu ketika Sayidah Fatimah sedang sakit parah. Kemudian Sayidina Ali suaminya berkata, “Wahai Fatimah saat sedang sakit seperti ini, apa yang kamu inginkan dari perkara dunia?”. Sayidah Fatimah menjawab bahwa beliau ingin buah delima.
Sayidina Ali kemudian memasukan tangan di sakunya untuk mencari uang tapi tidak menemukan apa-apa. Karena Sayidina Ali memang pimpinan orang-orang yang zuhud dan terkenal melaratnya.
Akhirnya Sayidina Ali menemui sahabatnya untuk berhutang. Zaman dulu hutang adalah perkara yang biasa karena orang yang hutang pasti niatnya untuk dikembalikan. Jauh berbeda dengan orang saat ini, sehingga hutang menjadi perkara yang hina.
Zaman dulu hutang biasa karena yang berhutang memiliki komitmen untuk pasti membayar. Sampai-sampai Kanjeng Nabi saat wafat masih punya hutang kepada orang Yahudi dengan menggadaikan pakaian perang untuk berhutang gandum.
Dalam Islam Hutang sebenarnya adalah perkara yang biasa sehingga di dalam kitab-kitab fiqih diatur yaitu pada Babul Qardi. Asalkan orang nya jujur. Sampai Allah Swt menisbatkan hutang dalam Alquran:
من يقرض الله قرضا حسنا
Artinya : Barangsiapa yang mau menghutangi Allah Swt.
Saat itu Sayidina Ali berkeliling untuk mencari pinjaman uang. Namun banyak dari mereka yang sama-sama tidak punya uang. Hanya ada satu sahabat yang bisa memberikan hutang dan itupun hanya 1 dirham.
Karena saat itu bukan musim delima maka mencari yang jual pun sulit. Hanya ada satu penjual yang menjual 1 buah delima dengan harga 1 dirham. Padahal saat musim panen delima, uang 1 dirham bisa dapat 10 sampai 20 delima. Akhirnya dibelilah 1 delima itu dengan harga 1 dirham.
Di tengah jalan ada seorang laki-laki yang sedang sakit yang terus menerus mengucapkan salam kepada orang yang lewat. Tujuannya adalah agar mendapatkan belas kasih dari orang-orang tersebut. Tapi tidak ada yang berhenti. Sayidina Ali paham akhirnya berhenti dan bertanya apa yang dia inginkan. Ternyata yang diingini adalah buah delima.
Akhirnya buah delima yang sayogyanya untuk Sayidah Fatimah diberikan kepada orang tersebut. Orang yang tua dan sakit. Saat itu juga Sayidah Fatimah oleh Allah Swt diberikan mukasafah mengetahui apa yang dilakukan oleh Sayidina Ali.
Saat Sayidina Ali datang, Sayidah Fatimah menjemput di depan rumah sambil bertanya dimana delima yang dia minta. Belum sempat bercerita Sayidina Ali bercerita, Sayidah Fatimah menceritakan bahwa dia sudah tahu apa yang telah dilakukan oleh Sayidina Ali kepada orang tua lemah yang sudah sakit tersebut. Saat itu Sayidah Fatimah berkata, “Mas, Aku bangga memiliki sumai seperti Engkau dan sekarang aku sudah diberi kesembuhan oleh Allah Swt!”.
Seperti itulah seharusnya seorang isteri, memuji dan mendukung kebaikan seorang suami. Bukan malah sebaliknya.
Tidak lama kemudian datang sahabat Salman menbawa keranjang yang ditutup kain ke rumah Sayidina Ali. Keranjang itu dibuka ternyata isinya adalah buah delima. Sayidina Ali bertanya bagaimana cerita dari delima ini. Sahabat Salman berkata, “Delima ini adalah delima dari Allah Swt kepada Rasulullah dan untukmu wahai Ali”.
Delima itu langsung dihitung oleh Sayidina Ali, dan jumlahnya hanya ada sembilan. Langsung Sayidina Ali berkata, “Salman Engkau berbohong, seharusnya Delima ini jumlahnya 10 bukan 9!”. Salman berkata, “Iya wahai Ali, satu delima sudah aku sembunyikan di saku untuk menguji kealiman mu!”.
Apa yang terjadi kepada Sayidina Ali ini adalah “imdadah” yaitu balasan yang berupa pertolongan dari Allah Swt. Bahkan amal yang dibalas di dunia bukan hanya orang Islam. Orang kafir pun ketika beramal kebaikan di dunia dibalas oleh Allah Swt di dunia. Tapi di akhirat mereka tidak mendapat balasan apa-apa.
Oleh karenanya jika ada orang non muslim yang beramal kebajikan, Allah Swt tetap memberikan “imadad”-Nya kepada mereka. Seperti orang-orang China yang ada di Jawa. Mereka jika menjalankan usaha jujur. Jika hutang mereka membayar. Saya punya pengalaman ketika bertransaksi dengan mereka yaitu jujur dan bisa dipercaya. Apalagi kalau mereka mempunyai perasaan yang sama kepada kita, mereka bertambah dermawan.
Dulu pada tahun 2000-an mulai ramai hp. Saya pernah membeli hp di toko china. Hp itu kemudian saya bawa dan saya ke Mualimin untuk mengajar. Saat di ngajar tidak sengaja saya memasukan tangan ke saku dan uangnya masih ada. Berarti hp nya belum saya bayar. Mereka menganggap sudah bayar. Tapi uang masih di saya. Akhirnya saya telepon dan memang benar saya belum bayar. Dan hitungan dia memang ada yang kurang. Karena dia sudah percaya Akhirnya pada kesempatan yang lain ketika saya lihat hp, langsung disuruh membawa dulu, uangnya terkhiran kapan-kapan tidak mengapa.
Lama-kelamaan china ini punya sorum. Satu ketika di sorumnya ini ada innova. Saat saya tanya untuk saya coba innovanya, china ini berkata, “Sampean bawa Pak Haji, 2 hari 3 hari sampean bawa, cocok sampean bayar tidak cocok sampean kembalikan!”. Itu adalah cerminan dari dirinya.
Oleh karenanya toko-toko yang dikelola oleh mereka besar-besar. Itu karena Allah Swt memberikan “imdad” sebab dia melakukan amal kebaikan yang berupa kejujuran. Dan dibayar kontan di dunia oleh Allah Swt.
Kita sebagai seorang mukmin ketika beribadah dan belum yakin kepada Allah Swt maka pasti saat ibadah masih berharap mendapatkan balasan dan pahala dari Allah Swt. Padahal Allah Swt pasti akan membalasnya. Hal itu menunjukan bahwa kita masih ragu dengan imbalan yang pasti akan diberikan Allah Swt.
Allah Swt pasti membalasa suatu ibadah. Baik imbalan itu diharapkan atau tidak. Disangka-sangka atau tidak. Akan tetapi jika kita menuntut Allah Swt dengan suatu balasan atas ibadah, itu menjadikan kita suul adab. Yaitu ibadahnya bukan karena bertujuan mengagungkan Allah Swt melainkan hanya karena kepentingan sendiri dan atas dorongan nafsu. Bahkan merasa curiga kepada Allah Swt.
قَالَ النَّصْرَابَاذِيُّ : الْعِبَادَاتُ إِلَى طَلَبِالْعَفْوِ وَالصَفْحِ عَنْ تَقْصِيْرِهَا أَقْرَبُ مِنْهَا إِلَى طَلَبِ الْأَعْوَاضِ وَالْجَزَاءِ عَلَيْهَا
Artinya: “Amal ibadah lebih membutuhkan permohonan ampun daripada permintaan imbalan dan balasan disebabkan banyaknya kekurangan dalam pelaksanaannya.”
Sesungguhnya amal ibadah lebih membutuhkan permohonan ampunan daripada kita meminta imbalan. Mengapa demikian?. Karena pelaksanaan ibadah kita yang banyak kekurangan. Banyak cacatnya. Banyak penyakitnya. Dan banyak kesembronoan.
Mengenai semborono dalam ibadah saja, bangak yang masih kita lakukan dalam ibadah sholat. Misalnya saat sholat harusnya membaca bacaan dengan tartil dan benar. Pikirannya memikirkan makna dari yang dibaca. Hatinya harus merasa diawasi oleh Allah Swt. Atau mengingat dengan zikir Allah-Allah. Lisannya menyebutkan bacaan Alquran dengan benar. Akal dan Pikirannya memikirkan makna dari yang dibaca. Dan hatinya selalu berzikir kepada Allah Swt.
Apakah kita sholat dengan demikian?. Jika belum berarti sholat kita tidak sempurna. Masih banyak cacat dan kekurangan. Ibarat tukang kita adalah tukang yang buruk. Dari segi ketepatan waktu memulai kerja sudah molor. Harusnya jam 7 sudah mulai bekerja. Tapi masih di atas sepeda dengan merokok. Setelah itu tidak mulai bekerja tapi masih kikir geraji, dsb. Padahal itu adalah pekerjaan rumah.
Kita yang beribadah kepada Allah dan menuntut Allah Swt untuk memberikan imbalannya, maka lihatlah ibadah kita yang penuh dengan kekurangan?. Sholat subuhnya jam berapa?.
Melihat ibadah kita yang banyak cacatnya tersebut, sebenarnya kita masih butuh permohonan ampunan dari Allah Swt daripada mendapat imbalan. Oleh karenanya setelah sholat kita diperintahkan untuk istigfar. Karena sholat kita belum sesuai dengan yang dituntut oleh Allah Swt. Setelah ibadah malah bertaubat karena pekerjaan kita tidak sesuai dengan pesanan.
Belum lagi ibadah kita yang kemasukan penyakit-penyakit seperti riya’, tidak ikhlas dan sebagainya. Oleh karena itu Syekh Ibnu Athailah berkata, bagi orang yang ragu bahwa suatu amal pasti dibalas oleh Allah Swt, maka cukuplah kita dihindarkan dari siksa karena amal kita, itu sudah merupakan suatu keuntungan.
Ibarat tukang yang pekerjaanya tidak beres dan merugikan juragan. Dan masih diberi kesempatan untuk bekerja. Tidak dipecat dan di PHK. Itu sudah merupakan keuntungan.
Seperti seorang pembantu yang memang dibayar oleh juragannya. Dia disuruh mengambilkan keramik langka yang mahal. Harganya jutaan. Saat diperintah molor tidak segera dilaksanakan. Saat sudah terlambat baru terburu-buru bekerja sehingga membawanya tidak safeti. Sambil lari. Dan akhirnya keramiknya jatuh lalu pecah. Setelah sampai si pelayan berkata kepada juragannya meminta ongkos. Yang demikian ini pantas atau tidak?.
Jika juragannya tidak memberikan denda. Tidak menuntut ganti. Tidak memecatnya. Itu sudah cukup sebagai balasan atas amal.
Persis dengan hamba yang saat dipanggil azan tidak segera datang. Saat dantang dengan terburu-buru. Sehingga pelaksanaannya tidak sesuai tuntutan. Bahkan penuh cacat dan kekurangan. Lalu setelah selesai matur kepada Allah Swt, “Ya Allah pahala balasannya mana?”. Padahal jika Allah Swt tidak menyiksa kita atas amal yang serba kurang tersebut, itu sudah cukup sebagai suatu balasan.
قَالَ تَعَالَى : ﴿ قُلۡ بِفَضۡلِ ٱللَّهِ وَبِرَحۡمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلۡيَفۡرَحُواْ هُوَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ ﴾ (يونس [10]: 58)
Artinya: “Katakanlah (Muhammad) dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus [10]: 58)
Apa yang kita kerjakan saat di dunia ini adalah bagian dari mengumpulkan amal. Dan amal yang kita kumpulkan sebagai tabungan di akhirat itu, masih jauh lebih besar rahmad dan fadhal dari Allah Swt. Masih jauh lebih bisa kita andalkan rahmad dan fadhal dari Allah Swt daripada amal yang kita kumpulkan.
Abah Djamal dulu saat ziarah sering berdoa dengan kalimat:
اغفر لنا يا الله فإن مغفرتك أوسع من ذنوبنا ورحمنا فإن رحمتك أرجلنا من جميع عملنا
Artinya : Ya Allah ampunilah dosa-dosa kami. Karena sesungguhnya ampunan-Mu lebih luas dari dosa-dosa kami. Ya Allah, berikanlah rahmad-Mu karena rahmad-Mu lebih bisa kami harapkan dari amal-amal kami.
Oleh karenanya amal-amal yang kita lakukan sebagaimana ayat “مِّمَّا يَجۡمَعُونَ” jangan dijadikan sandaran karena yang bisa kita jadikan sandaran adalah rahmad dari Allah Swt. Dan dengan rahamad Allah Swt tersebut, berbahagialah. Itu lebih baik daripada semua amal yang dikumpulkan sebagai bekal di akhirat.
Sayogyanya kita saat akan beramal ibadah tidak perlu memikirkan apapun. Tidak perlu memikirkan pahalanya. Tidak perlu memikirkan balasannya. Niatkan apapun ibadah kita untuk Allah Swt.
قَالَ الشَّيْخُ أَحْمَدُ بْنُ عَطَاءِ اللهِ السَّكَنْدَرِيُّ r:لَا تَطْلُبْ عِوَضًا عَلَى عَمَلٍ لَسْتَ لَهُفَاعِلًا، يَكْفِيْ مِنَ الْجَزَاءِ لَكَ عَلَى الْعَمَلِ أَنْ كَانَ لَهُ قَابِلًا (حكمة 133، الحكم ج ١ ص 92)
Artinya: “Jangan engkau meminta balasan atas ibadah yang pada hakikatnya bukan engkau yang melakukannya. Cukuplah balasan atas ibadahmu, diterimanya oleh Allah (yakni Allah tidak menghukummu karena adab yang buruk –dengan meminta balasan amal– yang menunjukkan ketidakikhlasanmu).”
Seorang hamba yang sedang beribadah kepada Allah Swt, kemudian meminta imbalan seharusnya dia merasa malu. Karena hakikatnya ibadah yang kita lakukan bukanlah kita yang melaksanakan.
Kita hanya memiliki usaha saja untuk melaksanakan ibadah. Adapaun proses sampai ibadah itu menjadi terlaksana itu murni Allah Swt. Sampai Allah Swt menjelaskan dalam Alquran:
قَالَ تَعَالَى: ﴿ وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ ﴾(الصافّات [37]: 96)
Artinya: “Padahal Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. As-Shoffat [37]: 96)
Suatu perbuatan ibadah dimulai dari “ketentek” atau bisikan hati. Sedangkan bisikan hati itu tidak akan muncul jika tidak dikehendaki Allah Swt, sebagaimana Alquran menjelaskan:
قَالَ تَعَالَى : ﴿ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ﴾ (التكوير [81]:29)
Artinya: “Kamu tidak dapat berkehendak, kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 29)
Seseorang tidak mungkin punya kehendak atau kemauan jika bukan Allah Swt yang memberikan kehendak kepada orang tersebut. Seseorang tidak mungkin punya keinginan kalau Allah Swt tidak memunculkan keinginan itu. Hakikatnya semua amal kebaikan dan ibadah kita murni dari Allah Swt.
Sederhanannya: kita ini yang menciptakan adalah Allah Swt. Lalu kita diberi pengertian oleh Allah Swt. Melalui majelis taklim atau pengajian sehingga mengetahui bahwa amal kebaikan itu akan mendapat balasan dari Allah Swt. Akan diberikan kenikmatan di surga, akan menjadi bekal di akhirat, dsb. Setelah itu pengertian tersebut menjadi ilmu yang masuk dalam hati.
Siapa yang memasukan ilmu ke dalam hati?. Allah Swt. Karena telah mendapatkan ilmu dan mengerti akhirnya punya kehendak atau kemauan.
Sebagaimana karena mendapat ilmu tentang shodaqah yang bisa menolak bala’. Akhirnya mau bershodaqah. Seperti kisah burung emprit yang mengadu kepada Nabi Sulaiman. “Nabi Sulaiman setiap kali aku bertelur, telurku diambil oleh anak yang dekat dengan sarangku!”. Nabi Sulaiman kemudian memerintah Jin untuk menunggu sarang dari burung emprit yang ada di pohon.
Satu ketika anak kecil itu mengetahui bahwa waktu ini adalah waktu telurnya emprit menetas dan siap diambil. Saat mau naik pohon. Ada satu pengemis lewat dipinggir anak kecil itu dan meminta-minta. Anak itu mengeluarkan roti dan diberikan kepada si pengemis karena akan mendapatkan telur.
Saat di atas pohon. Si anak dengan santai mengambil telur-telur si emprit. Padahal si burung emprit sudah percaya diri kalau pohon itu aman karena dijaga oleh jin yang diperintah Nabi Sulaiman.
Akhirnya burung emprit itu shok dan mengadu kembali kepada Nabi Sulaiman. Jin-nya pun dipanggil mengapa dia tidak menjaga telur emprit. Si Jin pun bercerita bahwa saat dia mau mendorong anak itu jatuh. Ada dua malaikat yang besar mendorong dan membuangnya dari pohon itu.
Lalu Nabi Sulaiman bertanya kepada dua Malaikat tersebut mengapa melakukan hal demikian padahal niatnya baik melindungi telur tersebut. Dua Malaikat itu pun bercerita kalau sebelum naik pohon, anak kecil tersebut shodaqah. Setelah shodaqah Allah Swt langsung menyuruh kami untuk melindungi anak itu jangan sampai disakiti siapapun.
Nah kita yang mendengar cerita yang demikian harusnya mendapat bisikan dalam hati untuk shodaqah. Dan bisikan tersebut berasal dari Allah Swt. Sebagaimana ayat:
وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
Artinya: “Kamu tidak dapat berkehendak, kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”
Akhirnya mau bershodaqah. Terjadinya shodaqah itu juga atas kehendak Allah Swt. Hakikat dari semua amal berasal dari Allah Swt, sehingga seharusnya kita malu untuk meminta imbalan.
Ilmu yang memberikan Allah Swt. Fisik jasad yang dari Allah Swt. Kemauan yang menanamkan Allah Swt. Kita hanya sekadar “kasab” atau ikhtiar semua sudah disediakan oleh Allah Swt. Sehingga jangan menuntut imbalan atas amal. Yang sejatinya bukanlah kita yang melakukan. Diterimanya amal saja sudah cukup karena sejatinya kita bukan yang melakukan.
Tidak perlu kita berpikir yang tidak perlu atas amal yang kita lakukan. Cukup berdoa dan berharap amal yang kita lakukan diterima oleh Allah Swt. Dan itu sudah cukup. (*)
-Disarikan dari Ngaji Hikam Setiap Malam Selasa oleh KH. M. Idris Djamaluddin di Masjid Bumi Damai Al-Muhibin Tambakberas Jombang, 3 November 2025.

Posting Komentar untuk "Ngaji Hikam Hikmah Ke-132 & 133"